Follow me on twitter!

Saturday 30 November 2013

Analisa Hak Mogok Kerja Dokter Serta Akibat Hukumnya


----------Sponsored Link----------



           
Sumber Gambar: Indopos.co.id
 Mahkamah Agung (MA) memberikan vonis 
10 bulan penjaraterhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawan SpOG bersama rekan-rekannya, di Manado Sulawesi Utara, yang dihukum karena lalai dalam bertugas[1] (baca pertimbangan hukumnya di sini). Putusan ini menyebabkan sejumlah dokter di Indonesia melakukan gerakan solidaritas kepada dr. Dewa Ayu dan rekan-rekannya, dengan melancarkan aksi mogok nasional. Bahkan ada saja rumah sakit yang menutup pelayanan untuk seharian, seperti yang dilaporkan Portal Berita Online Liputan6.com tanggal 28 November 2013, bahwa seorang pasien di Padang, Sumatera Barat terpaksa pulang tanpa hasil karena tidak ada dokter yang bertugas di rumah sakit yang dikunjunginya[2].

            Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia istilah mogok kerja dikenal dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[3] (UU Ketenagakerjaan).
Undang-undang ini memberikan banyak hak kepada pekerja sebagai bargaining position  bagi pekerja untuk membela kepentingan pekerja secara kolektif dalam suatu wilayah. Salah satunya merupakan Hak Mogok Kerja bagi pekerja. Dalam pasal 1 angka 23 UU Ketenagakerjaan memberikan definisi Mogok Kerja sebagai berikut, "Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan". Selanjutnya, pasal 137 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Bahkan pasal 143 UU Ketenagakerjaan memberikan jaminan hukum untuk aksi mogok yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai tidak dapat dihalangi oleh siapapun, termasuk polisi dan aparat kemanan lainnya.

Apakah Definisi Pekerja/Buruh dan Perusahan Dapat Disandingkan dengan Dokter dan Rumah Sakit?

            Hal yang kemudian menjadi menarik adalah ketika dokter-dokter di Indonesia mulai mengikuti kebiasaan buruh ini secara serentak pula. Biasanya, ketika buruh melakukan aksi mogok kerja hal tersebut dipicu oleh ketidaksepahamahan antara perusahaan dengan para buruh. Berbeda dengan buruh, aksi mogok dokter yang seringkali terjadi bukan karena dilatari oleh ketidaksepahaman antara rumah sakit dengan dokter, namun sebagai bentuk protes antara dokter dengan salah satu lembaga penyelenggara negara.

            Timbul pertanyaan baru kemudian, apakah dokter dapat dipersamakan dengan buruh/pekerja dalam UU Ketenagakerjaan? Apakah rumah sakit dapat dipersamakan dengan perusahaan dalam UU  tersebut? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus melihat definisi yang diberikan UU Ketenagakerjaan, sebagai berikut:

Pasal 1 angka 3:
 "Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain".

Pasal 1 angka 6:
"Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain."

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit[4] (UU Rumah Sakit) dalam pasal 20 dan 21 juga menjelaskan tentang pengelolaan rumah sakit, bahwa rumah sakit terbagi ke dalam dua bagian, yakni Rumah Sakit publik yang dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum nirlaba (non-profit). Kemudian dalam UU Rumah Sakit mendefiniskan Rumah Sakit privat yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Perseroan.

            Dalam melaksanakan profesinya dokter mendapatkan upah dari rumah sakit, sehingga dokter juga merupakan pekerja/buruh sebagaimana yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan dan rumah sakit juga merupakan pihak yang memberikan upah kepada dokter, sehingga rumah sakit juga merupakan perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan. Dengan begitu, aksi mogok yang dilakukan oleh dokter juga harus tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaan. Mengingat dikarenakan tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur profesi dokter secara khusus.

Ketentuan bagi Dokter yang Melakukan Mogok Kerja

            Dapat dibayangkan apabila seluruh dokter di Indonesia melakukan aksinya secara serentak, maka dipastikan akan pasien baik yang sedang dirawat maupun yang akan dirawat menjadi terlantar. Hal ini tentu saja dapat mengancam keselamatan pasien dan juga merugikan hak pasien sebagai konsumen.

            Sebagaimana dalam pasal 139 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Rumah sakit merupakan perusahaan yang tergolong melayani kepentingan umum, serta penghentian pelayanan dokter secara total di rumah sakit dapat membahayakan keselamatan jiwa. Sehingga pelayanan dokter di rumah sakit tidak boleh berhenti total.

            Bagaimanapun juga, dokter juga memiliki hak yang sama dengan pekerja/buruh sebagaimana yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam penjelasan pasal 139 UU Ketenagakerjaan[5] menjelaskan, bahwa rumas sakit termasuk dalam perusahaan yang dimaksud dalam pasal 139, serta maksud dari 'pemogokan yang diatur sedemikian rupa' yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. Sehingga dokter yang sedang bertugas sebagai dokter jaga serta dokter yang sedang melakukan tindakan medis darurat tidak boleh melakukan aksi mogok.

            Dengan demikian, aksi mogok yang dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 139 tersebut, maka aksi mogok tersebut menjadi tidak sah. Sehingga perlindungan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 142 tidak dapat diterapkan pada aksi mogok yang tidak sah. Selain itu para dokter yang melakukan aksi mogok dapat dianggap mangkir oleh perusahaan atau rumah sakit tempat dokter tersebut berkerja. Jika selanjutnya tindakan materiil berupa penelataran pasien dianggap melanggar kode etik kedokteran yang berlaku, maka hal itu menjadi kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk memberikan rekomendasi untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dokter kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bersangkutan[6].





[1] Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 365 K/Pid/2012 Tahun 2012

[2] Solidaritas Dokter `Korbankan` Pasien, Liputan6, [online], 2013, http://news.liputan6.com/read/758574/solidaritas-dokter-korbankan-pasien (diakses 29 November 2013)
[3] Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39)

[4]  Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153)

[5] Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)

[6] Pasal 32 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 671)

keywords: tinjauan hukum dokter yang mogok kerja, malpraktek dr. dewa ayu, putusan kasasi malpraktek dr. ayu, tanggung jawab hukum mogok kerja dokter, aksi mogok kerja dokter

0 comments:

Post a Comment

Artikel Terbaru

Followers