Sumber Gambar: Indopos.co.id |
Dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia istilah mogok kerja dikenal dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan[3]
(UU Ketenagakerjaan).
Undang-undang ini memberikan banyak hak kepada pekerja sebagai bargaining position bagi pekerja untuk membela kepentingan pekerja secara kolektif dalam suatu wilayah. Salah satunya merupakan Hak Mogok Kerja bagi pekerja. Dalam pasal 1 angka 23 UU Ketenagakerjaan memberikan definisi Mogok Kerja sebagai berikut, "Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan". Selanjutnya, pasal 137 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Bahkan pasal 143 UU Ketenagakerjaan memberikan jaminan hukum untuk aksi mogok yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai tidak dapat dihalangi oleh siapapun, termasuk polisi dan aparat kemanan lainnya.
Undang-undang ini memberikan banyak hak kepada pekerja sebagai bargaining position bagi pekerja untuk membela kepentingan pekerja secara kolektif dalam suatu wilayah. Salah satunya merupakan Hak Mogok Kerja bagi pekerja. Dalam pasal 1 angka 23 UU Ketenagakerjaan memberikan definisi Mogok Kerja sebagai berikut, "Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan". Selanjutnya, pasal 137 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Bahkan pasal 143 UU Ketenagakerjaan memberikan jaminan hukum untuk aksi mogok yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai tidak dapat dihalangi oleh siapapun, termasuk polisi dan aparat kemanan lainnya.
Apakah
Definisi Pekerja/Buruh dan Perusahan Dapat Disandingkan dengan Dokter dan Rumah
Sakit?
Hal yang kemudian
menjadi menarik adalah ketika dokter-dokter di Indonesia mulai mengikuti
kebiasaan buruh ini secara serentak pula. Biasanya, ketika buruh melakukan aksi
mogok kerja hal tersebut dipicu oleh ketidaksepahamahan antara perusahaan
dengan para buruh. Berbeda dengan buruh, aksi mogok dokter yang seringkali
terjadi bukan karena dilatari oleh ketidaksepahaman antara rumah sakit dengan
dokter, namun sebagai bentuk protes antara dokter dengan salah satu lembaga
penyelenggara negara.
Timbul
pertanyaan baru kemudian, apakah dokter dapat dipersamakan dengan buruh/pekerja
dalam UU Ketenagakerjaan? Apakah rumah sakit dapat dipersamakan dengan
perusahaan dalam UU tersebut? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita harus melihat definisi yang
diberikan UU Ketenagakerjaan, sebagai berikut:
Pasal 1 angka 3:
"Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain".
Pasal 1 angka 6:
"Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha
lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain."
Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit[4] (UU
Rumah Sakit) dalam pasal 20 dan 21 juga menjelaskan tentang pengelolaan rumah
sakit, bahwa rumah sakit terbagi ke dalam dua bagian, yakni Rumah Sakit publik yang dapat dikelola
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum nirlaba (non-profit). Kemudian dalam UU Rumah
Sakit mendefiniskan Rumah Sakit privat
yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Perseroan.
Dalam
melaksanakan profesinya dokter mendapatkan upah dari rumah sakit, sehingga dokter
juga merupakan pekerja/buruh sebagaimana yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan
dan rumah sakit juga merupakan pihak yang memberikan upah kepada dokter,
sehingga rumah sakit juga merupakan perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam
UU Ketenagakerjaan. Dengan begitu, aksi mogok yang dilakukan oleh dokter juga
harus tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaan. Mengingat dikarenakan tidak adanya
undang-undang khusus yang mengatur profesi dokter secara khusus.
Ketentuan
bagi Dokter yang Melakukan Mogok Kerja
Dapat
dibayangkan apabila seluruh dokter di Indonesia melakukan aksinya secara
serentak, maka dipastikan akan pasien baik yang sedang dirawat maupun yang akan
dirawat menjadi terlantar. Hal ini tentu saja dapat mengancam keselamatan
pasien dan juga merugikan hak pasien sebagai konsumen.
Sebagaimana
dalam pasal 139 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa Pelaksanaan mogok kerja
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum
dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan jiwa
manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum
dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Rumah sakit merupakan perusahaan
yang tergolong melayani kepentingan umum, serta penghentian pelayanan dokter
secara total di rumah sakit dapat membahayakan keselamatan jiwa. Sehingga
pelayanan dokter di rumah sakit tidak boleh berhenti total.
Bagaimanapun
juga, dokter juga memiliki hak yang sama dengan pekerja/buruh sebagaimana yang
dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam
penjelasan pasal 139 UU Ketenagakerjaan[5] menjelaskan, bahwa rumas
sakit termasuk dalam perusahaan yang dimaksud dalam pasal 139, serta maksud
dari 'pemogokan yang diatur sedemikian
rupa' yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak
sedang menjalankan tugas. Sehingga dokter yang sedang bertugas sebagai dokter
jaga serta dokter yang sedang melakukan tindakan medis darurat tidak boleh
melakukan aksi mogok.
Dengan
demikian, aksi mogok yang dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 139 tersebut, maka aksi mogok tersebut menjadi tidak sah. Sehingga perlindungan
hukum sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 142 tidak dapat diterapkan pada
aksi mogok yang tidak sah. Selain itu para dokter yang melakukan aksi mogok
dapat dianggap mangkir oleh perusahaan atau rumah sakit tempat dokter tersebut
berkerja. Jika selanjutnya tindakan materiil berupa penelataran pasien dianggap
melanggar kode etik kedokteran yang berlaku, maka hal itu menjadi kewenangan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk memberikan rekomendasi
untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dokter kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang bersangkutan[6].
[1] Putusan
MAHKAMAH AGUNG Nomor 365 K/Pid/2012 Tahun 2012
[2]
Solidaritas Dokter `Korbankan`
Pasien, Liputan6, [online], 2013,
http://news.liputan6.com/read/758574/solidaritas-dokter-korbankan-pasien
(diakses 29 November 2013)
[3] Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 39)
[4] Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153)
[5] Penjelasan
atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
[6] Pasal
32 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011
tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 671)
keywords: tinjauan hukum dokter yang mogok kerja, malpraktek dr. dewa ayu, putusan kasasi malpraktek dr. ayu, tanggung jawab hukum mogok kerja dokter, aksi mogok kerja dokter
keywords: tinjauan hukum dokter yang mogok kerja, malpraktek dr. dewa ayu, putusan kasasi malpraktek dr. ayu, tanggung jawab hukum mogok kerja dokter, aksi mogok kerja dokter
0 comments:
Post a Comment